ALAT PERTANIAN TRADISIONAL SEBAGAI WARISAN KEKAYAAN BUDAYA BANGSA
ALAT PERTANIAN TRADISIONAL SEBAGAI WARISAN KEKAYAAN BUDAYA BANGSA
(Traditional of
Agricultural Equipment as Nation Cultural Heritage Property)
ABSTRACT
Traditional farm equipment is one
of the cultural richness of Indonesia. Modernization in agriculture causes
decreasing of traditional farm equipment using by farmers. There are many
different kinds of traditional farm equipment
made by our ancestors in earlier time, for example plows, harrows,hoes,
ani-ani, sickle, etc. In some region of Indonesia, the traditional farm
equipments has different local name although has the same usability. This
traditional farm equipment contains adi luhung values according to the
personality of the Indonesian nation. Therefore, traditional farm equipment
needs to be preserved from exitinction and can be inherited to the next
generations.
Keywords: traditional farm equipment, cultural heritage,
local genius
ABSTRAK
Alat pertanian telah dibuat oleh
manusia prasejarah sejak masa neolitik. Alat pertanian tradisional merupakan
salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia. Modernisasi di bidang pertanian
menyebabkan berkurangnya penggunaan alat pertanian tradisional oleh petani.
Tulisan ini akan menjelaskan mengenai berbagai peralatan pertanian tradisional
yang digunakan untuk bercocok tanam baik dari fungsi maupun cara pemakaiannya.
Selain itu penulis mencoba untuk mengupas nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan
peralatan tradisional tersebut. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu
observasi, wawancara dan studi pustaka. Peralatan pertanian tradisional
merupakan bentuk kearifan lokal, memiliki nilai tradisi dan budaya yang telah
diwariskan oleh nenek moyang.
Kata kunci: alat pertanian tradisional, kekayaan budaya,
kearifan lokal
PENDAHULUAN
Indonesia
sekarang dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharaian sebagai petani. Sebelum mencapai taraf pertanian, awalnya sejarah
manusia untuk mempertahankan hidup dilakukan dengan mengumpulkan hasil bumi dan
berburu hewan di sekitar lingkungan. Kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan
“berburu dan meramu”. Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan berburu dan
meramu berganti dengan bercocok tanam. Berdasarkan data arkeologis kegiatan
bercocok tanam dilakukan oleh masyarakat pada zaman dulu secara sederhana
dengan membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan menanam berbagai jenis
umbi-umbian. Setelah musim panen, lahan pertanian yang lama ditinggalkan
kemudian mencari lahan yang baru dengan merambah hutan. Mereka menganggap tanah
yang lama sudah tidak dapat dipakai lagi untuk menanam dalam waktu yang cepat
(Soejono dalam Hartati, 2011). Semakin lama lahan pertanian semakin terbatas,
sehingga mereka mengubah sistem pertanian yang berpindah-pindah dengan membuka
hutan, beralih ke sistem pertanian yang permanen dengan menerapkan sistem
pengolahan tanah untuk ditanami padi. Mulai saat inilah pertanian padi dikenal
masyarakat (Widyantoro dalam Hartati, 2011).
Berbagai
bukti sejarah yang menggambarkan sistem pertanian masa lalu yakni ditemukannya
berberapa prasasti dan temuan peninggalan alat-alat pertanian. Prasasti Tugu
yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman berisi penggalian sungai untuk saluran
yang disebut Gomati, sepanjang 12 km selama 21 hari yang kemungkinan digunakan
untuk irigasi atau bendungan dan pelayaran sungai (Wuryantoro dalamHartati,
2011).
Pada
masa Kerajaan Majapahit pertanian mendapat perhatian yang besar dari raja dan
penguasa. Raja memberi perlindungan berupa penetapan tanah pertanian (Pigeaut
dalam Hartati, 2011). Temuan alat-alat pertanian seperti mata bajak, kapak
perimbas, dll membuktikan bahwa sudah sejak lama sistem pertanian dikenal oleh
masyarakat. Sistem pertanian tradisional yang diterapkan masyarakat pada jaman
dulu dilakukan secara gotong royong.
Sistem
pertanian tradisional yang menggunakan konsep gotongroyong dalam penggarapan
lahan pertanian digambarkan oleh Emile Durkheim sebagai ciri masyarakat
tradisional. Dalam pandangan Durkheim masyarakat tradisional biasanya tinggal
di daerah pedesaan dengan pembagaian kerja yang relatif lebih rendah. Dengan
pembagian kerja terbatas, masyarakat tradisional membangun sistem solidaritas
mekanis yang muncul berdasarkan atas kesamaan profesi mereka (Djhonson, 1994:
183). Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hasil pertanian juga dijual.
Sebelum mengenal sistem uang, masyarakat jaman dulu menukar hasil pertanian
dengan barang kepada orang lain dengan cara barter. Cara barter mulai
ditinggalkan sejak masyarakat mulai mengenal uang. Masyarakat tradisional
mengenal dua pola pertanian, yakni pertanian lahan kering (ladang/tegal) dan
lahan basah (sawah). Untuk pertanian kering biasanya ditanami umbi-umbian,
kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayuran. Sedangkan untuk pertanian basah
biasanya ditanami padi. Ada dua jenis alat pertanian yang digunakan, yakni alat
pertanian tradisional dan modern. Alat pertanian tradisional bentuknya
sederhana dan digerakkan menggunakan tenaga manusia, sedangkan alat pertanian modern digerakkan dengan menggunakan
mesin. Alat pertanian telah dibuat oleh manusia sejak jaman becocok tanam,
dimana manusia prasejarah telah mengenal pertanian. Pada jaman batu alat
pertanian dibuat dengan menggunakan batu dan pada jaman logam alat pertanian
dibuat menggunakan logam (perunggu dan besi). Dampak positif dari penggunaan
alat pertanian tradisional yakni ramah lingkungan, karena tidak ada kerusakan
alam ataupun pencemaran yang ditimbulkan sehingga pelestarian alam terus
berjalan.
Perkembangan iptek menyebabkan
modernisasi pertanian yang mendorong penggunaan peralatan modern dengan
teknologi canggih. Penggunaan peralatan modern dimaksudkan untuk meningkatkan
produktivitas hasil pertanian karena dianggap lebih efektif dan efi sien. Alat
pertanian tradisional semakin ditinggalkan oleh petani. Penggunaan peralatan
modern ini ternyata juga membawa efek negative, diantaranya kurang ramah
lingkungan. Oleh karena itu, peralatan pertanian tradisional ini perlu
dilestarikan untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan peralatan modern
sekaligus dapat melestarikan kearifan lokal, nilai tradisi dan budaya. Justru itu, pengetahuan mengenai peralatan
pertanian tradisional diperlukan sebagai sarana menjaga kelestarian
Gambar. 1 Bajak tradisional (dokumentasi Lilyk)
kekayaan budaya bangsa. Dalam tulisan ini akan dijelaskan
mengenai berbagai peralatan pertanian tradisional yang digunakan untuk bercocok
tanam, baik dari fungsi maupun cara pemakaiannya. Selain itu penulis mencoba
untuk mengupas nilai-nilai yang terkandung dalam penggunaan peralatan
tradisional tersebut.
ALAT
PERTANIAN TRADISIONAL DAN FUNGSINYA
Bajak (Luku/Waluku)
Gambar 2. Petani sedang membajak sawah (dokumentasi Lilyk)
Bajak
merupakan alat pertanian yang digunakan untuk mengolah tanah sebelum ditanami.
Bajak digunakan pada pengolahan tanah pertama (primary tillage equipment)
sebelum proses selanjutnya yang diperlukan. Di pulau Jawa, bajak dikenal dengan
nama luku/waluku, suku bangsa Batak menyebutnya dengan tenggala (bahasa Karo),
dan suku Minahasa menyebut dengan nama pajeko. sementara Orang Aceh menyebutnya
langa.
Bajak
orang Jawa memiliki beberapa bagian, yaitu cekelan, pancadan, tandhing,
singkal, dan pasangan. Cekelan adalah bagian dari bajak yang dipegang oleh
orang yang mengolah lahan. Cekelan harus dipegang kuat agar bajak tidak mudah
lepas. Pancadan adalah pijakan kaki dari pembajak. Pada saat membajak, kaki
harus berpijak salah satu bagian dari alat dengan tekanan kuat agar bajak dapat
terbenam ke tanah dan dapat membalik tanah saat ditarik. Tandhing atau pasak
digunakan untuk menguatkan sambungan agar bajak tidak goyang. Singkal merupakan
bagian dari bajak yang digunakan untuk membalik tanah
Mata
bajak (kejen) terbuat dari besi atau baja berbentuk runcing untuk menembus
tanah yang akan dibajak. Mata bajak ini terdiri dari baji tiga sisi dengan
tamping dan bidang datar sisi pemotong kejen sebagai sisi datarnya, sedangkan
bagian atas kejen dan singkal sebagai sisi lengkungnya. Pasangan berada di
leher hewan penarik bajak yang berfungsi sebagai pengendali. Untuk menarik
bajak, petani menggunakan bantuan hewan yang jinak, seperti kerbau atau sapi.
Jumlahnya juga bermacam-macam sesuai kebutuhan, bisa seekor sapi/ kerbau
ataupun dua ekor sapi/kerbau. Sapi yang digunakan saat membajak bagian mulutnya
ditutup menggunakan brongkos. Tujuannya agar sapi tidak makan saat digunakan
untuk membantu menarik bajak. Karena apabila tidak diberi penutup mulut, sapi
atau kerbau cenderung lambat kerjanya. Sebelum digunakan, sapi terlebih dahulu
diberi makan dan minum sampai kenyang, sehingga cukup tenaganya untuk membajak.
Garu
Gambar 3. Garu (dokumentasi Lilyk)
Garu
adalah peralatan pertanian yang digunakan untuk pengolahan tanah tahap kedua
(secondary tillage equipment) setelah pengolahan tanah menggunakan bajak. Pada
saat dibajak tanah masih berupa bongkahanbongkahan besar yang harus diratakan
agar dapat ditanami. Selain meratakan, garu juga berfungsi untuk meningkatakan
unsur hara tanah.
Garu
digunakan untuk menghancurkan sisasisa tanaman dan mencampurkannya ke dalam
tanah. Garu terdiri atas pegangan dan mata. Pegangan garu terbuat dari kayu yang digunakan untuk
mengarahkan garu pada saat mengolah tanah sedangkan mata garu ada yang terbuat
dari kayu ataupun besi. Cara penggunaanya yaitu gagang garu dipegang dengan
erat menggunakan kedua tangan, kemudian mata garu diarahkan pada tanah yang
akan diratakan. Susunan mata garu yang
ditarik kedepan menyebabkan bongkahan- bongkahan tanah yang telah dibajak
menjadi lebih rata.
Cangkul
Gambar 4. Macam-macam bentuk cangkul (dokumentasi Lilyk)
Cangkul
merupakan salah satu alat tradisional yang digunakan dalam pertanian. Cangkul
digunakan untuk berbagai pekerjaan, antara lain:
(1)
membelah, membalik, dan menggemburkan tanah;
(2)
mengerjakan pada daerah yang sulit di kerjakan traktor
(3)
mengolah tanah berbatu dan menyisir tanggul;
(4)
membuat parit;
(5)
menggali lubang pada saat menanam kacang tanah, jagung, dan tanaman lainnya.
Cangkul
memiliki dua bagian yaitu mata cangkul (pacul) yang terbuat dari besi,
berbentuk persegi atau bulat dan doran (pegangan) yang terbuat dari kayu
sebagai pegangan. Cara penggunaanya: pegang doran dengan kedua tangan, kemudian
arahkan pada tanah yang akan diolah sesuai kebutuhan. Pada saat mencangkul
tanah, pastikan posisi badan membungkuk turun kebawah untuk memudahkan proses
pencangkulan
Ani-ani (ketam)
Gambar 5. Ani-ani (ketam) (dokumentasi Lilyk)
Ani-ani adalah alat untuk
memotong tangkai tanaman padi pada saat panen. Ani-ani terdiri atas 2 bagian
utama, yaitu pisau yang terbuat dari besi beserta papan yang digunakan untuk
meletakkan pisau dari kayu. Tangkai ani-ani yang terbuat dari bambu atau kayu.
Alatnya sangat sederhana dan mudah penggunaannya. Cara menggunakan ani-ani,
yaitu tangan kanan memegang papan
pegangan dengan erat, sementara tangan kiri memegang tanaman padi yang akan
dipotong, kemudian arahkan pisau pada tanaman padi yang akan dipotong.
Keuntungan menggunakan aniani pada saat memanen padi adalah petani dapat
memilah padi yang sudah siap panen dan yang belum matang Namun demikian, alat
ini kurang efektif karena memerlukan banyak waktu dan tenaga kerja untuk
memanen padi. Oleh karena itu, ani-ani semakin ditinggalkan petani dan beralih
ke alat pertanian modern, yakni menggunakan teknologi moderen untuk memanen,
misalnya mesin mower atau reaper yang dapat merobohkan tangkai padi dalam waktu
yang cepat
Cangkul kecil
(Kering)
Gambar 6. Cangkul kecil (kering) (dokumentasi Lilyk)
Cangkul
kecil yang orang Jawa sebut kering merupakan salah satu alat pertanian yang
mulai ditinggalkan petani sekarang. Alat ini berfungsi untuk membersihkan
rumput atau tanaman pengganggu di ladang atau tegalan. Kering sangat efektif
digunakan saat membersihkan rumput di sela-sela tanaman utama yang jaraknya
dekat yang jika menggunakan cangkul akan sangat kesulitan bahkan justru bisa
mengenai tanaman utama sehingga akan mati. Alat ini terdiri dari dua bagian
utama, yaitu besi tipis mirip cangkul dengan ukuran yang lebih kecil dan tangkai
yang terbuat dari kayu sebagai pegangan. Cara menggunakan alat ini: pegang
tangkai atau gagang kering, kemudian arahkan kering ke arah rumput yang akan
dibersihkan. Pada saat menggunakan kering hendaknya dilakukan dengan posisi
jongkok untuk mempermudah pekerjaan yang dilakukan. Dengan perkembangan
teknologi alat ini semakin ditinggalkan petani dan beralih ke mesin pemotong
rumput untuk membersihkan tanaman pengganggu ataupun obat kimia yang
disemprotkan ke rumput.
Tongkat Tunggal
(Taju)
Gambar 7. Tongkat tunggal
(dokumentasi Lilyk)
Tongkat
tunggal merupakan salah satu alat pertanian tradisional yang berfungsi untuk
membuat lubang pada saat menanam. Tongkat tunggal ini oleh suku Nias disebut
toru, dan dalam bahasa Karo disebut engkol, sedangkan orang Jawa menyebutnya
taju. Alat ini biasanya digunakan untuk menanam jagung, kacang tanah, kacang
hijau, ataupun kedelai di ladang. Bentuk taju sangat sederhana, hanya berupa
tongkat lurus yang salah satu bagian di ujungnya dibuat lancip. Tonggat tunggal
terbuat dari kayu secara keseluruhan ataupun ada juga yang membuat bagian
lancip dengan dilapisi besi agar lebih tajam pada saat digunakan. Cara
menggunakan taju juga sangat mudah, yakni tongkat tunggal dipegang dengan
posisi ujung yang lancip berada di bawah. Setelah itu, tancapkan tongkat
tunggal ke dalam tanah dan segera angkat setelah menghujam tanah. Hasilnya,
akan terbentuk lubang dan siap untuk ditanami benih jagung ataupun tanaman
pertanian lainnya. Alat ini semakin ditinggalkan oleh petani dan beralih
memanfaatkan alat penanam modern (seeder), yakni menggunakan tenaga mesin.
Bahkan seeder sudah memiliki kegunaan multifungsi, yaitu menanam sekaligus
memupuknya
Sabit (Arit)
Sabit
adalah alat pertanian yang berbentuk pisau melengkung untuk memotong tanaman,
rumput, bahkan kayu. Sabit dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama arit, orang
Batak menyebut sabi-sabi. Sabit terdiri dari dua bagian utama, yaitu lengkungan
tajam terbuat dari besi yang berfungsi sebagai pemotong dan pegangan sabit
terbuat dari kayu. Cara menggunakan sabit adalah gagang/pegangan sabit dipegang
menggunakan tangan kanan dengan erat agar tidak lepas, sementara tangan kiri
memegang tanaman/rumput yang akan dipotong. Selanjutnya, ayunkan sabit ke arah tanaman yang hendak dipotong.
Gambar 8. Batu asah (dokumentasi Lilyk)
ketajaman
sabit ini, petani jaman dulu mengasahnya dengan menggunakan batu. Orang jawa
sering menyebut batu asah dengan nama ungkal. Caranya menggunakannya yaitu
bagian sabit yang akan ditajamkan digosok-gosokkan pada batu asah searah secara
berulang-ulang sampai sabit yang di asah tersebut tajam
Parang (Arit Bendo)
Parang
digunakan untuk memotong batang tanaman atau kayu yang lebih keras dan besar.
Parang atau Arit bendo menggunakan pisau besi yang lebih tebal daripada bentuk
arit yang lain agar tidak patah pada saat digunakan.
Arit Babatan
Gambar 9 Arit babatan (dokumentasi Lilyk)
Arit
babatan digunakan untuk memotong rumput ataupun tanaman pertanian seperti padi,
kacang tanah, jagung, ataupun semak-semak. Bentuk pisaunya lebih tipis untuk
mempermudah dalam pemakaiannya. Semakin lama ketajaman dari sabit akan
berkurang apalagi jika jarang dipakai. Untuk meningkatkan
Alat Perontok
(Gerejag/gebotan)
Gambar 10. (dokumentasi Lilyk)
Gerejag/gebotan
merupakan alat pertanian yang dipakai pada saat panen padi. Alat ini digunakan
untuk merontokkan padi dari tangkainya. Gerejag terbuat dari bambu dan kayu
yang disusun membentuk segitiga. Cara menggunakannya: padi yang telah dipanen
diayunkan ke alat tersebut beberapa kali, sehingga bulir padi bisa lepas dari
tangkainya. Alat ini sangat sederhana dan sepenuhnya menggunakan tenaga
manusia. Penggunaanya semakin ditinggalkan petani karena kurang efektif dan
kemudian mereka beralih ke mesin perontok padi (thresher) yang dinilai lebih
mengguntungkan.
Keranjang (Tenggok
atau Dunak)
Gambar 11. Keranjang
(tenggok) (dokumentasi Lilyk)
Gambar 12. Dunak
(dokumentasi Lilyk)
Gambar 13. Pikulan
(dokumentasi Lilyk)
Keranjang
merupakan alat tradisional yang digunakan untuk mengangkut hasil panen petani.
Keranjang terbuat dari anyaman bambu. Orang Jawa menyebut keranjang dengan nama
tenggok atau dunak, sedangkan orang Nias menyebutnya dengan ndraga (anonim,
2011). Beberapa daerah di Jawa ada juga yang memakai dua buah keranjang (dunak)
dan diangkat menggunakan pikulan. Pikulan dibuat dari bambu sehingga pada saat
mengagkat dunak, pikulan tersebut akan lentur mengikuti ayunan langkah petani
yang membawa. Agar dapat dibawa, dunak ini dikaitkan pada tali yang diikat
dengan pikulan. Keberadaan serangkaian alat angkut tradisional ini semakin
langka karena petani memilih menggunakan trealer, mobil, sepeda motor, hand
traktor rakitan yang dilengkapi tempat angkut hasil pertanian, dan lain-lain.
Lesung, Lumpang, Alu,
Tampi (Nyiru)
Gambar 14. Lesung
(dokumentasi Lilyk)
Gambar 15. Lumpang dan Alu
(dokumentasi Lilyk)
Lesung,
lumpang, alu, dan tampi merupakan serangkaian alat yang digunakan pada saat
pasca panen padi. Lesung adalah wadah atau tempat menumbuk padi untuk
memisahkan padi dari kulitnya, berbentuk seperti perahu panjang, terbuat dari
kayu yang keras atau batu. Selain itu, lesung juga sering dipakai untuk
menumbuk beras yang akan dibuat tepung ataupun untuk menumbuk rempah-rempah.
Orang Nias menyebutnya sebagai losu (Anonim 2011). Lumpang juga merupakan alat
yang digunakan untuk menumbuk padi ataupun beras, terbuat dari kayu ataupun
batu dan biasanya juga terdapat di ujung-ujung lesung. Alu adalah alat yang
digunakan untuk menumbuk padi agar lepas dari sekamnya, berfungsi sebagai alat
pendamping lesung. Alu berbentuk seperti tongkat kayu yang pada bagian tengah
dibuat agak kecil, berfungsi sebagai pegangan tangan penumbuk padi. Pada bagian
bawah alu agak besar dan tumpul yang digunakan untuk menumbuk padi.
Gambar 16. Tampi (Nyiru) (dokumentasi Lilyk)
Tampi (
nyiru) adalah alat tradisional yang terbuat dari anyaman bambu dan bentuknya
bundar, biasa digunakan untuk memisahkan padi yang telah ditumbuk dari
kulitnya. Orang jawa menyebut tampi dengan sebutan tampah, sedangkan Orang Nias
menyebutnya dengan niru. Cara menggunakan tampi, yaitu dengan memasukkan padi
yang telah ditumbuk ke dalam tampi dan diayunkan serta diputar-putar (Orang
Jawa menyebutnya di interi). Sebelum ditumbuk, padi dikeringkan terlebih dahulu dengan dijemur
dibawah sinar matahari agar mudah untuk melepaskan kulitnya. Kulit padi ini
biasanya disebut merang (sekam), dulu sering digunakan sebagai bahan bakar
untuk memasak. Di Jawa, kegiatan menumbuk padi biasanya dilakukan oleh ibu-ibu
petani secara gotong-royong. Serangkaian alat diatas semakin ditinggalkan
petani dan beralih ke mesin penggilingan yang lebih modern. Bahkan untuk
mengeringkan hasil panen, petani sudah menggunakan alat modern dengan mesin
pengering (dryer).
NILAI-NILAI ALAT TRADISIONAL
Nilai ekonomis
Nilai
ekonomis tercermin dari bahan baku yang digunakan untuk membuat peralatan
pertanian tradisional, yakni biaya yang relatif murah. Bahan-bahan yang dipakai
dapat diperoleh secara mudah di alam, antara lain kayu, bambu, batu, dan
lainlain. Proses pembuatan dan alat yang digunakan untuk membuat tergolong
sederhana. Pembuatan alat pertanian tradisional biasanya dilakukan sendiri oleh
petani, misalnya untuk pembuatan bagian-bagian bajak, mereka mencari bahan kayu
yang keras. Untuk mata bajak yang terbuat dari besi, petani biasanya meminta
bantuan pandai besi untuk membuatkannya. Contoh lain, dalam membuat keranjang,
petani biasanya mencari bambu di lingkungan sekitar kemudian membuat anyaman
sehingga menghasilkan barang sesuai keinginan mereka. Petani pada jaman dulu
dikenal sangat kreatif dalam membuat peralatan pertanian dengan memanfaatkan
bahan-bahan berasal dari alam sekitarnya.
Nilai budaya
Beberapa
nilai budaya yang tercermin dalam penggunaan peralatan pertanian tradisional
dapat dilihat pada beberapa kegiatan. Misalnya pada saat membajak sawah
dilakukan sambil menyanyikan senandung sebagai penyemangat kerja yang berisi
wejangan/petuah untuk generasi muda. Bunyi-bunyian lesung dan alu pada saat
menumbuk padi, indah untuk didengarkan sebagai nada yang bernilai seni.
Kegiatan ini juga memunculkan inspirasi seniman untuk menciptakan lagu ” Lesung
Jumengglung” yang terkenal sejak jaman dulu sampai sekarang. Nilai budaya juga
tercermin dari bentuk alat pertanian tradisional. Bentuknya sederhana, tetapi
mengandung unsur seni. Misalnya bentuk ani-ani yang mirip burung, bentuk sabit
mirip bulan sabit, tampi dan keranjang yang teranyam rapi, dan sebagainya.
Petani yang masih menggunakan peralatan pertanian tradisional ini secara tidak
langsung ikut andil dalam melestarikan budaya yang diwariskan oleh leluhur.
Nilai sosial
Dalam
pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat pedesaan masih memegang teguh
prinsip gotong royong, saling membantu secara bergiliran. Hal ini menyebabakan
hubungan kekeluargaan satu orang dengan lainnya menjadi semakin erat, saling
membutuhkan dan membantu untuk menghasilkan produktivitas kegiatan pertanian.
Kebersamaan dapat pula dilihat pada saat pengolahan tanah, penanaman,
penyiangan sampai pemanenan hasil pertanian. Misalnya pada saat panen padi,
para tetangga ikut membantu tanpa diberi upah dan membawa hasil panen ke rumah
pemiliknya menggunakan alat angkut keranjang ataupun gerobak. Pembagian
pekerjaan disesuaikan dengan kemampuan. Untuk pekerjaan yang berat dilakukan
oleh laki-laki, misalnya membajak dan mencangkul; sedangkan pekerjaan yang
lebih ringan dilakukan oleh perempuan, misalnya menanam dan memanen padi.
Nilai ekologi
Alat
pertanian tradisional digerakkan dengan tenaga manusia, sehingga ramah
lingkungan. Berbeda dengan alat pertanian modern yang menggunakan mesin ataupun
listrik untuk mengoperasikannya. Bahan bakar dari penggunaan mesin akan
menyebabkan pencemaran lingkungan sekitar. Dampak dari pencemaran ini akan
menyebabkan rusaknya tanah dengan terkikisnya kandungan unsur hara yang
menurunkan kesuburan. Selain itu, buangan bahan bakar dari mesin peralatan
pertanian modern (misalnya traktor, threser, dan lainlain) akan menyebabkan
pencemaran udara yang dapat merusak sistem pernapasan makhluk hidup.
PENUTUP
Salah
satu akibat yang ditimbulkan dari modernisasi di bidang pertanian adalah
semakin terkikisnya penggunaan peralatan pertanian tradisional oleh petani yang
cenderung beralih pada peralatan pertanian yang modern. Peralatan pertanian
tradisional perlu untuk dilestarikan karena mengandung nilai-nilai yang berakar
pada budaya bangsa. Bentuk pelestariannya yakni dengan perlindungan, baik hukum
melalui peraturan maupun kebijakan terkait pelestarian warisan budaya.
Dokumentasi dan pelestarian
berupa pameran alat pertanian tradisional di museum juga di perlukan agar
warisan kekayaan ini tidak punah dan masih dapat di perlihatkan pada generasi
mendatang. Pelestarian warisan budaya bangsa juga dapat dilakukan melalui
pendidikan, yakni dengan menyisipkan pengetahuan tersebut dalam pembelajaran
siswa di sekolah. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran tentang
pentingnya melestarikan budaya sebagai jati diri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Djhonson, D.P. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid
I. Terjemahan Robert MZ Lawang.Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hartati,S.T.D. 2011. “Peranan Dewi Sri dalam Tradisi
Pertanian di Indonesia”. Makalah Pertemuan Ilmiah
Arkeologi tahun 2011, tanggal 1-3 November 2011 di Surabaya. Jakarta:Direktorat
Jendral Sejarah dan Purbakala.
ZULIANDRA PUTRA
HARWANTA
(J1B117059)
TEKNIK PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
Cocok buat makalah terimakasih ya
BalasHapus